Karl Marx: Teoretis Emansipatoris, Praktis Patriarkis
Revolusi
lahir dari ide, tapi ide, seringkali mati di ranjang kebiasaan. Karl Marx hidup
dan menulis di tengah dunia yang ia benci, tapi ia juga mencintainya dengan
cara yang patriarkis.
Nama
Karl Marx sering diasosiasikan dengan pembebasan. bebas dari kelas, dari sebuah
eksploitasi, dari ilusi. Marx mengutuk sistem kapitalisme karena mengubah
segala sesuatu menjadi sebuah komoditas termasuk
cinta dan tubuh perempuan. Ia mencela kaum borjuis yang memandang perempuan
sebagai properti bergerak. Ia berbicara, meski sepintas, tentang kebutuhan
untuk membebaskan perempuan dari cengkeraman keluarga borjuis dan sistem
ekonomi yang menindas.
Namun,
di balik teori yang fenomenal, terdapat jejak hidup yang senyap namun getir:
seorang perempuan bernama Jenny, yang setia hingga mati; seorang pembantu
bernama Helene, yang diam melahirkan anak dari tuannya sendiri; dan seorang
revolusioner, yang tak pernah benar-benar melepaskan kuasa patriarki dalam
relasi pribadinya.
Tulisan
ini bukan untuk menggugat relevansi teori Marx, melainkan ingin menunjukkan:
bahwa bahkan teori yang paling radikal pun bisa gagal dalam praktik paling
intim. Bahwa emansipasi tak hanya soal kelas tetapi juga soal relasi, tubuh,
dan ingatan. Dan bahwa Marx, betapapun visionernya, tetap seorang pria abad
ke-19 yang membawa jejak zaman dalam dagingnya.
Emansipasi
yang melupakan perempuan hanyalah revolusi setengah hati.
Dan Marx, dalam hal ini, mencintai revolusi namun belum mencintai perempuan
yang merevolusi dunia mereka sendiri.
Dalam
kapitalisme, cinta bukan lagi perasaan, ia menjadi transaksi.
Perempuan tidak dipilih, ia dibeli.
Dalam
Manifesto Komunis, Marx dan Engels menulis bahwa borjuasi telah
mereduksi setiap hubungan manusia ke dalam “hubungan uang belaka.” Termasuk
cinta. Termasuk pernikahan. Keluarga, dalam hal ini, bukanlah tempat
perlindungan moral, melainkan sebuah reproduksi ideologi kelas dan kepemilikan.
Marx
tidak menulis panjang lebar tentang perempuan, namun ia membocorkan sesuatu
yang penting: perempuan bukan hanya korban sistem produksi, tetapi juga korban
sistem reproduks ibaik secara biologis maupun sosial.
"The
bourgeois sees in his wife nothing but an instrument of production."
(The Communist Manifesto)
Di
sini perempuan bukan subjek. Ia adalah alat. Fungsi. Nilai tukar. Pernikahan
adalah alibi moral untuk dominasi ekonomi; cinta adalah propaganda untuk
menjinakkan perempuan dalam ruang privat agar pria bisa bebas di ruang publik.
Namun,
Marx berhenti di situ. Ia membongkar ilusi pernikahan, tapi tak menyentuh
kedalaman tubuh perempuan itu sendiri. Ia menjelaskan bagaimana perempuan
menjadi alat produksi tenaga kerja (anak), tapi tak pernah membahas kerja
reproduksi sebagai bentuk eksploitasi tersendiri. Ia mengenali perempuan
sebagai yang tereksploitasi, tetapi bukan sebagai subjek revolusioner.
Di
tangan Marx, emansipasi perempuan adalah bab yang tak selesai.
Ia bukan tujuan, hanya konsekuensi tambahan dari revolusi kelas.
Dalam
The Origin of the Family, Private Property, and the State (1884), Engels
menulis kalimat yang terus dikutip para feminis Marxis:
“The
overthrow of mother-right was the world-historic defeat of the female sex.”
Engels
melihat asal-usul penindasan perempuan bukan dalam budaya atau moralitas,
tetapi dalam transformasi struktur ekonomi. Ketika masyarakat berpindah dari
komunalisme primitif ke kepemilikan pribadi, peran perempuan sebagai penjaga
warisan biologis dan sosial mulai dikekang. Keluarga monogami lahir bukan dari
cinta, tapi dari kebutuhan untuk memastikan garis keturunan dan pewarisan
properti.
Keluarga
borjuis adalah tempat di mana cinta menjadi kontrak dan tubuh menjadi dokumen
waris.
Namun,
meskipun Engels menawarkan kritik historis yang tajam terhadap sistem
patriarki, ia tetap memposisikan perempuan sebagai bagian dari narasi besar
perjuangan kelas. Pembebasan perempuan tidak muncul sebagai agenda otonom,
tetapi sebagai akibat otomatis dari revolusi proletariat. Tidak ada strategi
khusus, tidak ada suara perempuan, tidak ada ruang bagi pengalaman afektif yang
berbeda.
Selain
itu, pertanyaan penting muncul:
- Mengapa Marx
sendiri tidak menulis topik ini secara eksplisit?
- Apakah karena
ia menganggapnya “sekunder”, atau karena tubuh perempuan tidak pernah
menjadi pusat dalam skema revolusi industrinya?
Engels
mungkin mencoba menutup celah, tapi ia menulis dengan logika yang sama: sejarah
sebagai urusan ekonomi, bukan emosi; struktur, bukan subjektivitas.
Penindasan
diidentifikasi, tapi belum dimiliki oleh suara perempuan sendiri.
Di antara Marx dan Engels, emansipasi perempuan masih menunggu artikulasinya
sendiri.
Marx
menulis tentang pembebasan, namun hidupnya menggambarkan keterikatan.
Marx bukan sekadar pria berpikir, ia juga pria yang berdiam ketika seharusnya
bertanggung jawab.
Jenny
von Westphalen, istri Marx, bukan hanya pasangan hidup, ia adalah korban dari
cinta yang terlalu politis dan terlalu maskulin. Ia kehilangan anak-anaknya
satu per satu, hidup dalam pengasingan dan kemiskinan, menjadi saksi dari
seorang suami yang lebih mencintai ideologi ketimbang keluarga.
Helene
Demuth, pembantu rumah tangga yang ikut eksil bersama keluarga Marx, melahirkan
seorang anak laki-laki, Freddy, yang diduga kuat merupakan anak Marx. Namun
Marx tak pernah mengakui anak itu. Ia diam. Dan Engels, sahabatnya, mengklaim
sebagai ayah anak tersebut untuk menyelamatkan reputasi seorang ikon revolusioner.
Di
sinilah ironi paling gelap bersemayam:
Seorang yang melawan eksploitasi, justru mengeksploitasi perempuan dalam
rumahnya sendiri.
Perempuan-perempuan
terdekat Marx bukan sekadar latar; mereka adalah partisipan bisu dalam revolusi
yang tidak pernah mereka pilih. Mereka tidak ikut menulis Kapital,
tetapi mereka membayar harganya dengan air susu, dengan pengorbanan emosional,
dengan kehilangan yang tak pernah dikompensasikan oleh sejarah.
Jika
teori adalah milik Marx, maka pengorbanan adalah milik perempuan-perempuannya.
Di antara buku dan tubuh, Marx memilih yang pertama.
Pertanyaannya
bukan lagi sekadar apakah Marx munafik secara moral, tapi apakah teori revolusi
bisa dilepaskan dari praktik hidup? Apakah mungkin memperjuangkan keadilan
kelas sambil mengabaikan keadilan relasional?
Dalam
tubuh Jenny dan Helene, kita menemukan jawaban: bahwa teori paling radikal pun
bisa menjadi alat penindasan jika tidak dilandaskan pada etika relasi yang
konkret.
Emansipasi
tidak lahir dari kutipan. Ia lahir dari pengakuan terhadap luka dan Marx gagal
mengenal luka yang ia ciptakan sendiri.
Pemikir-pemikir
seperti Alexandra Kollontai, Silvia Federici, hingga Angela
Davis, tidak hanya meneruskan warisan Marxis mereka merekonstruksi dan,
dalam banyak hal, memberontak terhadapnya.
1.
Kritik terhadap Ekonomi Rumah Tangga
Silvia
Federici, dalam karya Caliban and the Witch, menekankan bahwa kerja
rumah tangga dan reproduksi sosial adalah fondasi yang dilupakan dari
kapitalisme. Ia menyatakan:
“Marx
tidak pernah melihat kerja perempuan di rumah sebagai kerja produktif, padahal
dari sanalah tenaga kerja laki-laki dihasilkan setiap hari.”
Dengan
kata lain, kapitalisme tidak hanya berdiri di atas eksploitasi pekerja di
pabrik, tetapi juga di atas eksploitasi perempuan di rumah.
2.
Kritik terhadap Emansipasi Sekadar Turunan Revolusi
Angela
Davis menyentuh soal emansipasi perempuan kulit hitam, yang tak bisa disamakan
dengan perjuangan kelas semata. Ia menulis:
“Ketika
kelas menjadi pusat segalanya, ras dan gender tenggelam.”
Ini
adalah kritik serius terhadap reduksionisme kelas dalam Marxisme
ortodoks. Feminisme Marxis muncul justru untuk menolak subordinasi perempuan ke
dalam “agenda besar” revolusi, tanpa ruang untuk pengalaman unik mereka
sendiri.
3.
Perspektif Perempuan sebagai Subjek Revolusi
Alexandra
Kollontai, satu dari sedikit pemikir yang benar-benar menggabungkan Marxisme
dengan pengalaman perempuan, memperjuangkan pembebasan seksual dan otonomi
tubuh perempuan dalam sistem sosialis. Namun bahkan dalam lingkungan sosialis
Rusia, pemikirannya kerap dianggap terlalu "emosional", terlalu
"perempuan".
Revolusi
menerima perempuan sebagai simbol, tapi belum sebagai subjek.
Feminisme Marxis menolak menjadi simbol: ia adalah bentuk perlawanan atas
kelupaan sistemik.
Feminisme
Marxis bukan anti-Marx, tapi pasca-Marx. Ia menggugat bukan untuk membuang,
tapi untuk menuntut konsistensi: jika pembebasan adalah tujuan, maka tidak ada
kelas yang bisa dibebaskan tanpa membebaskan perempuan terlebih dahulu.
Di
ruang di mana Marx berhenti, feminisme Marxis memulai.
Setiap
teori besar menyisakan luka kecil.
Marx membongkar sistem dunia—tapi tidak membongkar dirinya sendiri.
Dalam
pusaran revolusi, perempuan kerap menjadi hantu: hadir tapi tak bersuara,
menderita tapi tak tertulis. Marx mengenali penderitaan kelas, tapi melupakan
bahwa penderitaan perempuan tidak selalu bisa direduksi ke dalam kerangka
ekonomi. Tubuh perempuan bukan semata alat produksi, bukan sekadar korban
struktur—ia adalah pengalaman. Ia adalah sejarah.
Teori
Marx menawarkan dunia tanpa eksploitasi. Tapi dalam praktik hidupnya,
eksploitasi tetap berlangsung halus, domestik, nyaris tak terlihat. Di antara
surat-surat, manifesto, dan kritik ekonomi-politik, kita tak menemukan
pengakuan terhadap perempuan yang terlibat secara afektif dan material dalam
kelangsungan hidup sang revolusioner.
Jenny
tidak dikutip. Helene tidak dikutip. Eleanor pun akhirnya bunuh diri.
Ini bukan hanya kegagalan sejarah. Ini kegagalan mendengarkan.
Feminisme
Marxis muncul sebagai tanggapan terhadap kelengahan ini. Ia tidak membatalkan
Marx, tapi menuntut utuhnya pembebasan: bahwa kelas, ras, gender, dan tubuh
adalah medan-medan perjuangan yang tidak bisa ditunda atau disubordinasikan.
Maka
pertanyaannya kini bukan lagi: apakah Marx munafik?
Melainkan:
mengapa kita begitu lama memaafkan kebisuan terhadap perempuan dalam teori yang
katanya revolusioner?
Emansipasi
bukan warisan. Ia adalah pekerjaan sehari-hari.
Dan seperti kerja perempuan, ia kerap tak terlihat tapi menopang segalanya.
Leave a Comment