ARAH DEMOKRASI KOALISI GEMUK PRABOWO
“Democracy is more likely to
survive, otherwise beeing equal in small state”
-Ernest
S.Griffith
Bentuk murni dalam sebuah demokrasi adalah saat
pertama kali demokrasi dilahirkan di Athena. Dimana pada ekklesia, rakyat secara langsung membahas kebijakan yang langsung
bersinggungan dengan kepentingan masyarakat. Situasi ini bisa terwujud karena
populasi dan wilayah yang masih relatif kecil sehingga kepentingan-kepentingan
dapat mudah diartikulasikan dan diagregasikan. Penting untuk dipahami bahwa
populasi yang sedikit dan wilayah yang relatif kecil bukan merupakan faktor
utama demokrasi di suatu negara dapat berjalan secara stabil. Kita perlu
menilik pola sosial dan budaya dari masyarakatnya.
Pada masa itu, struktur masyarakat di Athena secara
umum berisi polites (warga negara), meitik (pendatang) dan doulos (budak). Selain itu, sistem
pendidikan mereka (paideia) bertujuan
untuk pembentukan intelektual, moral dan fisik agar menjadi warga negara yang
ideal dalam polis. Pendidikan ini
berfokus kepada retorika, filsafat dan keterampilan berargumen yang penting
bagi sistem demokratis mereka. Terakhir, Agama dan budaya di Athena saling
berhubungan dengan kepercayaan dewa-dewi Yunani. Sebagai contoh adalah Festival
Dionysia yaitu pemujuaan kepada Dionysus yang menampilkan drama tragedi dan
komedi serta pawai patung. Sistem politik dan demokrasi di Athena sudah
dirancang sedemikian rupa dari bawah sampai atas untuk menciptakan iklim yang
cocok untuk berdialog dan berdiskusi. Meskipun terdapat kesenjagan sosial
ekonomi pada polites, kesamaan dalam
budaya, agama dan nilai-nilai politik pada pemegang hak politik ini menciptakan
homogenitas yang kuat. Sehingga tidak peduli apabila seorang polites berasal dari keluarga kaya atau
miskin, mereka dapat mengemukakan pendapat mereka pada ekklesia.
Dalam istilah
politik modern, Athena membentuk pola cross-cutting
cleavage, di mana perbedaan ekonomi tidak serta-merta menciptakan blok
politik yang berlawanan. Seorang polites miskin dan kaya bisa berdiri di ekklesia dengan hak yang sama, tanpa
dikotomi tajam seperti yang terjadi dalam masyarakat yang terfragmentasi secara
sosial dan politik. Dengan sistem pendidikan (paideia) yang seragam dan keyakinan agama yang menyatukan, Athena
menghasilkan kesamaan nilai yang memungkinkan perdebatan berlangsung tanpa
polarisasi yang ekstrem.
Namun apakah sistem demokrasi bisa berjalan pada
wilayah yang besar dan masyarakat yang terfragmentasi? Saya mengambil contoh
negara Nigeria, dimana negara ini memiliki lebih dari 250 kelompok etnis,
tetapi memiliki 3 kelompok dominan. Hausa-Fulani berada di utara Nigeria yang
mayoritas beragama Islam. Kelompok ini sejak awal kemerdekaan menguasi politik
dan sering mendapatkan dukungan dari militer. Yoruba, berada di barat yang
berisi Kristen dan Islam yang memiliki pengaruh besar pada sektor bisnis dan
birokrasi. Terakhir, Igbo yang terkenal pada sektor perdagangan. Setiap
kelompok memiliki kepentingan-kepetingannya sendiri, situasi ini menyebakan
konflik berkepanjangan. Sistem politik di Nigeria dihadapkan dengan faktor
etnisitas yang menyebabkan ketakutan akan dominasi dari satu kelompok etnis
yang menjadi faktor utama yang menghambat stabilitas politik di negara ini.
Jika Athena menunjukkan bahwa homogenitas dalam
ranah politik menciptakan stabilitas, Nigeria menunjukkan sebaliknya: bagaimana
perbedaan yang saling bertumpuk (overlapping
cleavage) dapat menjadi sumber konflik berkepanjangan. Di Nigeria, garis
pemisah politik tidak hanya terjadi antar etnis, tetapi juga diperburuk oleh
agama, ekonomi, dan militer yang semuanya bertumpuk secara simultan (overlapping cleavage). Seorang
Hausa-Fulani Muslim di utara bukan hanya berbeda dari seorang Igbo Kristen di
selatan dalam hal etnis, tetapi juga dalam sektor ekonomi, akses ke kekuasaan,
dan jaringan politik-militer. Akibatnya, perbedaan ini menciptakan persaingan
yang kaku, di mana identitas seseorang hampir selalu menentukan afiliasi
politiknya. Dalam kondisi ini, sulit bagi sistem politik Nigeria untuk mencapai
konsensus sebagaimana yang terjadi di Athena.
Apabila kita tidak teliti, mudah saja menyimpulkan
bahwa Indonesia adalah jalan tengah antara Athena dan Nigeria. Padahal, apakah
benar demikian? Memang, Indonesia adalah negara yang heterogen. Tetapi apakah
heterogenitas ini otomatis berarti polarisasi yang kaku seperti Nigeria? Tidak
juga. Apakah ia menghasilkan keseragaman politik seperti Athena? Juga tidak.
Indonesia berdiri di bawah payung Bhinneka Tunggal
Ika, tetapi potongannya tidak serapi yang kita kira. Masyarakatnya tidak
terbelah secara tegas seperti di Nigeria, tetapi juga tidak terintegrasi secara
alami seperti di Athena. Di balik harmoni simbolik, ada celah yang tak selalu
terlihat. Rakyat Indonesia masih terpisah oleh politik sub-kultur—agama,
etnisitas, kelas sosial—yang menciptakan tekanan-tekanan tersembunyi.
Jika bukan polarisasi, jika bukan homogenitas, lalu
apa?
Yang terbentuk bukanlah dua kutub yang
berseberangan, melainkan tarikan-tarikan silang yang saling meniadakan. Sebuah
ketidakpastian politik yang terus berulang. Inilah yang disebut cross-pressure.
Pola cross-preasure
ini merupakan tekanan yang didapat oleh individu dari berbagai identitas dan
kepetingan yang bertentangan dengan yang dianut. Seorang muslim di Indonesia
bisa saja memilih pemimpin sekuler demi stabilitas politik, seorang nasionalis
dapat mempertimbangkan identitas keagamaan dalam politik, ataupun seorang
pemilih muda yang mengidamkan perubahan bisa saja tetap memilih figur lama demi
pragmatisme.
Situasi ini menciptakan pemilih cair dan mudah
dinegosiasi.
Pada suatu sistem cross-preasure pemilih tidak terikat pada satu garis politik yang
tegas sehingga partai atau koalisi dapat merangkul sebanyak mungkin identitas
politik sehingga lebih dominan. Dalam demokrasi prabowo, ia melihat celah itu
di mana dengan merangkul kebingungan politik akibat dari cross-preasure. Sistem demokrasi ini hampir tidak ada oposisi.
Semua dirangkul, diakomodasi, diredam. Sebuah union the opposition dalam pengertian yang paling luas.
Tetapi
apakah koalisi ini mencerminkan keseimbangan? Atau hanya ilusi power-sharing
tanpa distribusi yang proporsional?
Koalisi Besar: Demokrasi
Konsosiasional yang Setengah-Setengah
Demokrasi konsosiasional menawarkan satu formula:
jika perbedaan terlalu dalam untuk dihapus, maka rangkul semuanya. Libatkan
lawan politik dalam pemerintahan, kurangi potensi polarisasi, stabilkan sistem.
Prabowo tampaknya memahami ini. Koalisi gemuknya bukan sekadar upaya memperkuat
pemerintahan, tetapi strategi meredam oposisi. Semua pihak masuk, semua kepentingan
diakomodasi—secara teori. Tetapi apakah ada pembagian kekuasaan yang nyata?
Dalam sistem konsosiasional murni seperti di Belgia atau Swiss, power-sharing berjalan dalam bentuk
konkret: proporsionalitas dalam jabatan, veto kelompok minoritas, dan
desentralisasi kekuasaan.
Di Indonesia, power-sharing
tampak lebih sebagai negosiasi politik elitis. Tidak ada kejelasan prinsip
representasi. Tidak ada keseimbangan struktural yang menjamin setiap elemen
yang dirangkul benar-benar memiliki kuasa. Koalisi besar ini ada, tetapi
mekanismenya cair.
Akibatnya?
Demokrasi kehilangan gigitannya. Bukan hanya oposisi yang melemah, tetapi juga
dinamika politik itu sendiri.
Dinamika Centripetal: Insentif
Elektoral di Balik Koalisi
Koalisi
ini bukan hanya soal stabilitas. Ada elemen lain yang bekerja: insentif
elektoral.
Dalam teori demokrasi centripetal, sistem politik
dirancang untuk mendorong moderasi. Partai dan kandidat didorong untuk mencari
suara lintas kelompok, mengurangi polarisasi, dan membangun basis dukungan yang
luas. Di Indonesia, sistem pemilu dan format presidensial menciptakan kondisi
yang mendorong hal ini. Tetapi ada perbedaan mendasar: dalam centripetalism
klasik, insentif ini muncul secara organik—karena sistem mengarahkannya
demikian. Di Indonesia, ia lebih bersifat artifisial. Koalisi besar bukan hasil
dari kebutuhan politik yang natural, tetapi dari negosiasi pragmatis elite.
Jika centripetalism biasanya menciptakan insentif untuk meraih dukungan luas,
di sini yang terjadi adalah insentif untuk berbagi kekuasaan demi
mempertahankan dominasi. Hasil akhirnya? Demokrasi yang tampak moderat di
permukaan, tetapi kehilangan makna kompetitifnya.
Demokrasi Keterwakilan yang Tidak
Konsisten
Konstitusi
Indonesia jelas: demokrasi kita berbasis keterwakilan. Tetapi bagaimana ia
dijalankan?
·
Kita memilih
wakil, tetapi kebijakan lebih sering ditentukan oleh negosiasi elite.
·
Kita memiliki
oposisi, tetapi oposisi itu dirangkul dalam pemerintahan.
·
Kita memiliki
sistem politik yang tampaknya kompetitif, tetapi dengan hasil yang hampir
selalu bisa diprediksi.
Ketidakonsistenan ini bukan sekadar anomali. Ia adalah gejala dari sistem yang berjalan setengah-setengah: konsosiasional dalam formasi koalisi, tetapi tanpa power-sharing yang jelas; centripetal dalam format pemilu, tetapi dengan insentif elektoral yang lebih elitis ketimbang populis.
Demokrasi seperti ini tidak gagal, tetapi juga tidak sepenuhnya berhasil. Ia ada di antara dua kutub, tanpa arah yang pasti.
Demokrasi yang Melayang
Apakah
koalisi besar ini menjamin stabilitas? Tidak sepenuhnya.
Apakah
ia menciptakan keseimbangan kekuasaan? Tidak secara proporsional.
Apakah
ia menguatkan demokrasi? Tidak jika demokrasi berarti kompetisi politik yang
sehat.
Demokrasi
Prabowo adalah demokrasi yang melayang. Tidak sepenuhnya konsosiasional, tidak
sepenuhnya centripetal, tidak sepenuhnya demokrasi keterwakilan. Ia adalah
demokrasi yang berjalan dengan arah yang tidak jelas—menghindari konflik,
tetapi juga menghindari keberanian untuk mengambil bentuk yang definitif.
Dan
justru di situlah masalahnya.
Leave a Comment