Mengenali Diri dan Memahami Ketakutan
Hadapi Ketakutan
Aku rasa semua orang pernah merasakan takut. Bahkan seorang revolusioner handal yang menghantam imperialisme dan menumbangkan rezim seperti Che Guevara sering merasakan takut. Atau sebuah contoh lain, seorang komponis jenius Ludwig Van Beethoven yang hidupnya dipenuhi ketakutan akan pendengarannya yang semakin hari semakin hilang namun mampu menjadi bagian dalam sejarah sebagai salah satu komponis penting sepanjang sejarah. Lalu sebenarnya apa itu ketakutan? Apakah ketakutan hanya merupakan respon emosional dari ancaman yang dianggap berbahaya, menakutkan atau sesuatu yang tidak diketahui? bukankah seharusnya ketakutan menjadi kontradiksi dari aksi tokoh-tokoh diatas? bukankah berdasarkan hal itu seharusnya Che itu meneruskan pendidikannya sebagai Dokter dan terus berada dalam rezim Batista dan Beethoven seharusnya menjadi seorang penulis yang mengisolasi dirinya dari dunia luar?
Mungkin pemikiran Julia Kristeva bisa menjadi jembatan dalam bagaimana kita memahami sebuah ketakutan.
Definisi Ketakutan
Kita seringkali menggampangkan suatu fenomena, gejala, pola, atau simbol di sekitar kita. Lalu dengan mudahnya kita menaruh sebuah arti, makna dan pengertian didalam hal itu. Tanpa memahami secara jelas apa yang terjadi dibalik hal yang sedang berlangsung. Sebagai contoh, pendefinisian kita terhadap ketakutan.
Ketika kita dihadapkan kepada suatu situasi dimana kita menerka masa depan dan kemudian menciptakan skenario kehancuran pada diri sendiri. Kita dengan mudah memvonis bahwa pada saat itu kita merasakan takut. Namun apakah benar “ketakutan” merupakan “hal” yang sesederhana itu?
Bagi Julia Kristeva, ketakutan datang ketika seseorang dihadapkan pada situasi yang mengancam keutuhan identitas, pemahaman umum dan tatanan sosial yang sudah terbentuk. Bagi dirinya ketakutan ini bukan hanya sekadar respons terhadap ancaman eksternal, tetapi juga hasil dari konfrontasi dengan sesuatu yang tidak dapat didefinisikan dengan jelas, yang berada di ambang batas antara yang dapat diterima dan yang tidak dapat diterima, antara “aku” dan “yang lain”.
Kristeva lebih lanjut menjelaskan bahwa ketakutan muncul ketika kita dihadapkan pada sesuatu yang mengancam batas-batas identitas kita, baik secara fisik, psikologis, maupun sosial. Misalnya, tubuh yang mati, darah, atau kotoran bisa memicu ketakutan karena benda-benda ini mengaburkan batas antara kehidupan dan kematian, yang hidup dan yang mati. Ketakutan dalam konteks ini adalah yang dimaksudketakutan akan hilangnya kejelasan, keteraturan, atau batas antara "aku" dan "yang lain."
Ketakutan dalam pengalaman abjeksi adalah jenis ketakutan eksistensial, karena ia mengancam keutuhan diri dan menghadirkan realitas yang tidak dapat dipahami atau dikendalikan. Kristeva menggambarkan ketakutan ini sebagai sesuatu yang lebih dalam daripada pemahaman kita tentang rasa takut karena ini memengaruhi inti identitas seseorang dan perasaan stabilitas.
Kristeva juga mengaitkan ketakutan dengan pengalaman eksistensial, yaitu ketakutan akan kefanaan dan kematian. Konfrontasi dengan tubuh yang rusak atau mati mengingatkan kita pada kenyataan kematian yang tak terhindarkan, sesuatu yang berada di luar kendali manusia. Ini menciptakan perasaan takut yang mendalam karena mengungkapkan kerapuhan dan ketidakstabilan eksistensi manusia.
Ketakutan eksistensial ini muncul dari hal-hal yang mengancam batas antara yang hidup dan yang mati. Kehadiran tubuh yang mati atau darah, misalnya, membuat kita berhadapan langsung dengan kefanaan kita sendiri, yang memicu rasa takut yang sulit untuk diatasi.
Berdamai
Melalui sudut pandang Kristeva, kita bisa melihat bahwa ketakutan lebih dari sekedar respon emosional yang diterima. Lebih dari itu, ketakutan ini menyentuh tempat yang lebih dalam di dalam diri kita, yaitu ketidakstabilan dan kerapuhan eksistensi kita sebagai manusia. Seringkali ketika kita menghadapi hal kompleks dan rumit seperti itu, kita memilih untuk memisahkan, mengasingkan, dan menempatkan diri kita kedalam dimensi lain dalam diri kita. Seperti orang buangan yang tidak mengerti tentang situasi apa yang sedang terjadi disekitarnya dan apa yang terjadi dalam dirinya.
Namun menurut Kristeva, alih-alih mengasingkan diri seharusnya kita menghadapi ketakutan itu dan mendapatkan penyesuaian dari pengalaman itu. Penyesuaian terhadap ketakutan ini dilakukan melalui proses psikologis dan simbolis yang kompleks, di mana individu menghadapi dan mengolah ketakutan yang timbul dari hal-hal yang mengganggu batas identitas atau tatanan diri.
Aku tau bahwa melakukan hal tersebut tidak semudah menuliskannya dalam kata. Namun Kristeva juga menggambarkan perjalanan penyesuaian terhadap ketakutan ini melalui proses yang cukup melelahkan. Berikut kutipan dari Julia Kristeva:
“Seorang pembangun yang tak kenal lelah, penderita tak lebih dari seorang pengembara. Dia berada dalam sebuah perjalanan, pada malam hari, yang akhirnya terus menyurut. Dia merasakan bahaya kehilangan objek semu yang menarik dan mewakilinya, tetapi dia tidak bisa menahan diri untuk tidak mengambil resiko pada saat memisahkan diri. Makin lama dia mengembara, makin dia terselamatkan”. -Kristeva, J. (1982). Powers of horror: An essay on abjection.
Sublimasi
Mengasingkan diri hanya menambah masalah. Paranoid, bingung, cemas, jijik semua emosi negatif yang melahap kita, kian mengaburkan identitas dan sampai pada tahap lenyapnya identitas kita.
Adapun dalam tulisannya, Kristeva tidak membiarkan kita mencari jawaban sendiri terkait dengan ketakutan kita. Tidak juga memberikan jawaban receh seperti “setiap orang memiliki penyelesaian terhadap masalahnya masing-masing” atau jawaban retorika membosankan lainnya yang pada ujungnya membiarkan ketakutan menetap di diri kita. Tapi menurutnya ketakutan itu harus dihadapi dan diolah. Bukan menetap tapi menjadi bagian dari sebuah pengalaman emosi. Hal ini disebut Kristeva sebagai Sublimasi.
Sublimasi memainkan peran penting dalam penyesuaian terhadap ketakutan. Melalui sublimasi, emosi yang berasal dari ketakutan atau jijik dapat diubah menjadi ekspresi yang lebih tinggi, seperti seni, budaya, atau pemikiran intelektual. Misalnya, ketakutan terhadap kematian atau kehancuran diolah menjadi karya seni yang merefleksikan nilai kehidupan dan perjuangan eksistensial. Proses sublimasi membantu individu meredakan ketakutan dengan memberi makna pada emosi negatif dan menjadikannya sesuatu yang dapat diterima.
Kristeva menekankan bahwa salah satu cara untuk menyesuaikan diri dengan ketakutan adalah melalui pengakuan dan penerimaan terhadap hal-hal yang menjijikkan atau menakutkan sebagai bagian dari kehidupan manusia. Misalnya, kematian, penyakit, atau hal-hal yang menantang identitas seseorang (seperti perbedaan budaya atau gender) dapat dilihat bukan hanya sebagai ancaman, tetapi sebagai sesuatu yang harus diakui dan diterima.
Dengan mengakui bahwa hal-hal ini adalah bagian dari pengalaman manusia, seseorang dapat mengurangi rasa takut yang berlebihan terhadapnya. Ini tidak berarti bahwa kita harus sepenuhnya nyaman dengan hal-hal tersebut, tetapi dengan memahami keberadaannya, kita bisa lebih siap secara mental untuk menghadapinya.
Pada akhirnya, kita tidak bisa sepenuhnya menghilangkan ketakutan dari kehidupan kita. Ketakutan bukanlah sesuatu yang harus dipandang sebagai musuh yang harus dihindari, melainkan sebagai sebuah bagian alami dari perjalanan hidup. Dalam pandangan Kristeva, ketakutan akan hilangnya identitas, tatanan, atau bahkan keberadaan diri kita merupakan sebuah momen penting dalam perkembangan individu. Justru dari momen-momen konfrontasi dengan yang tidak pasti dan menakutkan itulah kita menemukan kesempatan untuk memahami diri kita lebih dalam, menumbuhkan kesadaran, dan bahkan menemukan makna yang lebih dalam dari pengalaman hidup kita.
Seperti seorang Che Guevara yang tidak membiarkan ketakutannya menghentikan perjuangannya, atau Beethoven yang menerjemahkan ketakutannya menjadi komposisi musik yang abadi, kita pun dapat mengolah ketakutan kita menjadi sesuatu yang lebih bermakna. Melalui sublimasi, ketakutan dapat diubah menjadi dorongan kreatif yang mendorong kita menuju pemahaman baru, ekspresi artistik, atau bahkan pencapaian yang lebih besar dalam hidup. Ketakutan bukan lagi sesuatu yang harus ditakuti, melainkan jembatan menuju pertumbuhan dan perubahan diri.
Leave a Comment