Transisi Prabowo: Dari Militeristik ke Sentralistik

 

Transisi kepemimpinan Prabowo Subianto bukan hanya perubahan figur dalam kontestasi pemilu, tetapi juga transformasi gaya kekuasaan. Dari narasi militeristik yang melekat pada citranya, Prabowo kini berubah menjadi simbol stabilitas dan keterpaduan elite. Perubahan ini ditandai oleh strategi koalisi besar, kebijakan populis yang menjangkau kelas pekerja dan petani, serta konsolidasi institusional yang menjurus pada sentralisasi. Prabowo yang dulu identik dengan disiplin militer dan oposisi keras terhadap riak-riak demokrasi, namun kini bertransformasi menempati posisi baru sebagai pusat gravitasi politik nasional. Pola kekuasaan yang dibentuk sekarang bukan dengan dominasi paksa, tetapi dengan sentralisasi halus lewat manuver elektoral, kooptasi oposisi, dan janji kesejahteraan. Transisi ini menimbulkan pertanyaan krusial: apakah ini bentuk adaptasi politik, atau gejala regresi demokrasi?

Koalisi Besar dan Konsolidasi Kekuasaan

Pembentukan koalisi besar oleh Prabowo bukan sekadar strategi kemenangan elektoral. Ia merepresentasikan upaya konsolidasi kekuasaan dalam kerangka kepemimpinan yang semakin terpusat. Seperti diulas Mutawalli (2023), penguatan lembaga kepresidenan di Indonesia sering kali berlangsung seiring dengan kecenderungan untuk memusatkan kekuasaan pada satu tangan. Dalam kasus Prabowo, konsolidasi ini berjalan simultan dalam dua arah. Simbolik dan praktis. Hampir seluruh kekuatan politik besar bergabung dalam satu poros, yang secara de facto menghapus fungsi oposisi. Sebuah union the opposition.

Secara political feasibility, strategi ini efisien. Friksi elite diminimalkan, dukungan legislatif diamankan, dan ancaman dari luar sistem diredam. Namun, konsolidasi yang berlebihan dapat menciptakan ruang demokrasi yang sempit. Demokrasi kehilangan nyawanya sebagai forum kontestasi ide, karena perbedaan suara diserap dan dinetralkan di dalam koalisi. Demokrasi prosedural tetap berjalan, tapi kehilangan substansi deliberatifnya.

Populisme yang Dikendalikan

Di saat yang sama, Prabowo mengadopsi pendekatan populis yang fungsional. Program makan siang gratis, janji bantuan petani, serta dukungan terhadap kelompok buruh mencerminkan bentuk containment populism populisme yang tidak bertujuan menggugat sistem, tetapi justru memperkuatnya dengan meredam potensi oposisi. Stahl dan Ellersgaard (2023) menyebut strategi ini sebagai penyaluran aspirasi rakyat yang dikemas agar tidak membahayakan tatanan kekuasaan.

Populisme semacam ini bukan didasarkan pada ideologi yang membebaskan, melainkan pada efisiensi politik. Ia tidak menggerakkan rakyat untuk menuntut keadilan struktural, tetapi menempatkan mereka dalam posisi penerima kebijakan. Yang diutamakan bukan pelembagaan partisipasi, tetapi loyalitas terhadap pemimpin. Ini adalah populisme yang mengelola, bukan membebaskan.

Implikasi bagi Demokrasi

Konsolidasi elite dan populisme fungsional membawa dampak ambivalen bagi demokrasi. Di satu sisi, ia menciptakan stabilitas politik dan kohesi elite. Namun, di sisi lain, ia berisiko mengikis mekanisme kontrol terhadap kekuasaan. Kekuasaan eksekutif yang menguat tanpa regulasi ketat dalam masa transisi dapat menimbulkan distorsi dalam sistem pemerintahan. Ketika presiden menjadi pusat dari segala proses politik dari perumusan kebijakan hingga alokasi sumber daya maka jarak antara negara dan penguasa kian menipis.

Refleksi Penutup

Lalu pertanyaan yang muncul apakah sentralisasi kekuasaan yang dibungkus populisme ini akan menghasilkan pemerintahan yang efektif, atau justru menciptakan sistem yang rapuh karena terlalu bertumpu pada figur tunggal? Transisi Prabowo dari militeristik ke sentralistik menunjukkan bahwa wajah kekuasaan bisa berubah, tetapi wataknya belum tentu. Demokrasi Indonesia tidak cukup hanya dipelihara melalui prosedur elektoral. Ia membutuhkan oposisi yang hidup, representasi yang bermakna, dan rakyat yang diberdayakan.

 

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.